Tajuk Pelestari : Kelakar Milei, Paradigma Reforestasi dan Inkonsistensi Upaya Mitigasi

Sore ini, hujan mengguyur basecamp pelestari Kawasan Wilis, Nganjuk, Jawa Timur, Sabtu (16/11)  Kendati hujan mengguyur, temperatur udara ma...

Sore ini, hujan mengguyur basecamp pelestari Kawasan Wilis, Nganjuk, Jawa Timur, Sabtu (16/11) Kendati hujan mengguyur, temperatur udara masih menujukkan angka 27 derajat. Di saat yang sama, di belahan dunia tepatnya di Kota Baku, Azerbaijan, para pemimpin negara sedang duduk di dalam ruangan hangat - dalam forum COP 29- dengan suhu di luar mencapai 11 derajat celcius

Para pemangku kepentingan ini berkumpul dan duduk membicarakan upaya mitigasi perubahan iklim. Sebuah agenda mulia yang dititipkan pada pundak para delegasi Indonesia

Apakah pertemuan ini cukup penting untuk menurunkan suhu global ? jawabnya bisa jadi iya, bisa juga tidak! 

Melansir dari berbagai laporan media massa di Agenda COP29, Forum ini tak ubahnya ajang berbagi pengalaman dengan narasi klasik yakni Climate Change.

Argentina misalnya, memilih walk out dari forum dan mengatakan "mengevaluasi ulang situasi, posisi." demikian tulis siaran pers COP 29 

Sebagai negara berkembang, -Argentina- seperti halnya Indonesia memang berada dalam situasi yang harus bertindak untuk ikut berperan dalam penurunan suhu global.

Presiden Argentina, Javier Milei pernah berujar bahwa pemanasan global adalah hoaks. Apa yang sebelumnya disampaikan Milei ini, bisa jadi benar. Mengingat, sejumlah pengamat menilai agenda COP 29 adalah ajang show off bagi negara calon penerima donor untuk proyek pembangunan rendah karbon 

Faktanya, dari berbagai rangkaian acara di Azerbaijan ini, isu pendanaan iklim menjadi point krusial di COP29, terlebih paska kegagalan negara maju -penghasil emisi- dalam pemenuhan target komitmen dana sebesar 100 miliar dolar AS per tahun hingga 2020. 

Negara G77 plus China, termasuk Indonesia mengusulkan target pendanaan iklim total global harus mencapai US$1,3 triliun. namun negara maju tidak setuju dengan usulan Negara G77 + yang beranggotakan 138 negara berkembang itu.

Negara-negara kaya - yang harus menanggung pendanaan iklim ini- bersikeras mempertanyakan skala prioritas dari aksi mitigasi, serta alokasi pembiayaan dan bukan seluruh mekanisme pembiayaan yang diminta negara berkembang. 

Lantas, kenapa negara maju justru terkesan mempertanyakan “komitmen” negara penerima donor?  atau bisa jadi benar ucapan Javier Milei, “perubahan iklim adalah "kebohongan sosialis". 

Jurnal dari Climática pernah merilis penolakan Milei terhadap pandangan ilmiah yang tersebar luas bahwa manusia lah yang menyebabkan perubahan iklim.

Pembakaran minyak, gas, dan batu bara melepaskan gas rumah kaca yang merusak iklim dan memanaskan suhu planet. Pada konferensi iklim tahun lalu di Dubai, seluruh 200 negara sepakat untuk menjauh dari bahan bakar fosil.

*****

Think Global, Act Local! menjadi jargon yang sering di gaungkan oleh pemerintah Indonesia. Hutan Tropis yang terus di sinari matahari merupakan kearifan lokal yang tidak di miliki negara maju yang mayoritas berada di iklim sub tropis.

Letak Geografis Indonesia yang strategis sangat berperan dalam pengurangan emisi serta berkontribusi untuk menurunkan suhu secara global. 

Ketika Matahari melintas di garis Ekuator maka di saat yang sama, Hutan di Nusantara bak mesin raksasa akan bekerja menyerap karbon dan melepas oksigen. Kondisi ideal inilah yang di harapkan negara maju. 

Dalam konteks sederhana bisa diartikan, mereka akan terus menggerakan alat produksi untuk melepas emisi sedangkan kita akan di minta menjaga hutan agar tetap lestari. Sepintas terdengar cukup fair! 

Lantas bagaimana upaya ideal Indonesia? mari kita kembali pada paradigma reforestasi yang murujuk pada aktivitas penghutanan kembali. 

Reforestasi, tak bisa di artikan secara sempit dengan aksi menanam pohon kembali tetapi juga melibatkan masyarakat dalam prosesnya. Aksi kolaborasi Pentahelix perlu dilakukan dengan melakukan gotong royong antara Pemerintah Daerah, Korporasi, Akademisi, Komunitas dan Media. 

Pendekatan aksi harus di lakukan hingga tingkat tapak, dengan mempertimbangkan pemilihan spesies pohon lokal untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Replikasi aksi yang sudah berhasil dari daerah lain, belum tentu menjadi teladan.

Mengutip Peribasa Jawa “"Desa mawa cara, negara mawa tata" yang berarti setiap desa memiliki adat kebiasaan sendiri, sedangkan negara memiliki hukum tersendiri. 

Hingga pada titik ini, tentu dapat di pahami bahwa, ketika delegasi Indonesia membawa misi  pendanaan perubahan iklim, tidak bisa serta merta mengadopsi permintaan dari Negara Maju.

Pemerintahan Prabowo - Gibran tentu harus hadir dalam hikmat kebijaksanaan dengan mempertimbangkan azas keadilan sosial, artinya Reforestasi juga berimbang baik dari sisi ekologi dan sisi ekonomi.

*********

Selama 1 dekade terakhir, penggunaan hutan merupakan bagian dari komplikasi lain. Di lereng gunung Wilis misalnya, alih fungsi lahan hutan menjadi lahan jagung seolah jamak dan di fasilitasi dengan dalih ketahanan pangan.

Menebang habis hutan dan menggantinya dengan tanaman semusim tidak didefinisikan sebagai penggundulan hutan karena lahan tersebut tetap menjadi hutan yang berfungsi. 

Inkonsistensi pada penggunaan istilah Agroforestri menyebabkan paradigma reforestasi menjadi bergeser. Terlebih ketika hampir tiga dekade lalu, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAOPerserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan hutan sebagai hutan yang memiliki luas minimal 0,5 hektar (satu hektar setara dengan 10.000 meter persegi), tutupan tajuk 10% , dan tinggi pohon 5 meter (16,4 kaki).

Menariknya, jika kita berpikir definisi hutan secara global (think global) maka hutan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, adalah area yang jarang ditumbuhi pepohonan, seperti sabana, dapat didefinisikan sebagai hutan. 

Misalnya, definisi hutan di Indonesia mencakup ambang batas area minimum 0,25 hektare sementara Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) menggunakan definisi Hutan adalah lahan dengan pepohonan yang tingginya minimal 2–5 meter, tutupan tajuk minimal 10–30%, dan lebih dari 0,1 hektare.

Sehingga jika semua instrumen lain dalam hutan dianggap sama, maka suatu area di Indonesia harus setidaknya 2,5 kali lebih besar dari area yang ditetapkan oleh UNFCCC untuk memenuhi syarat sebagai hutan. 

Pertanyaannya, dimana kita bisa mendapati hutan yang luas dengan berbagai instrumen lengkap seperti yang di inginkan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) agar bisa digunakan sebagai kawasan konservasi dalam proyek karbon.

Kebijakan Pemerintah yang mendefinisikan hutan secara inklusif juga berperan dalam mengaburkan upaya aksi mitigasi yang di lakukan pemerintah daerah maupun komunitas. Hilangnya hutan dengan tajuk pepohonan tinggi berganti dengan tanaman MPTS membuat keanekaragaman hayati mulai hilang. 

Hutan kini tak lagi menjadi penyangga ekologi, namun telah di jadikan mesin ekonomi. Maka tak ayal - narasi perubahan iklim yang disepakati sejak protokol Kyoto - Negara Maju - di wajibkan untuk membayar dana  pemulihan hutan - menetapkan standar ideal kepada negara berkembang selaku penerima dana untuk pembangunan rendah karbon. 

Akhir kata, kini saatnya kita memikirkan kembali upaya reforestasi yang menitik beratkan pada status areal penggunaan lahan, kinerja yang terukur serta evaluasi yang berkala, sehingga aksi pelestari menjadi selaras dengan apa yang di hari ini di bicarakan pada forum COP 29, yakni Hutan sebagai cadangan karbon dan kekayaaan keanekaragaman hayati untuk menjaga iklim global

Salam Literasi untuk Lestari 

Tofan Ardi 
Ketua Umum Pelestari Kawasan Wilis ~
Nama

advokasi,10,Aksi,19,bencana,2,blogger,1,buku,1,deforestasi,6,dlh jatim,1,edukasi,11,ekspedisi,5,gunung,4,Hutan Kritis,6,infografis,12,kediri,16,limas,1,lomba,7,Madiun,7,mata air,6,Mitigasi,13,nganjuk,22,opini,3,pelatihan,1,pendakian,11,perhutani,1,peta,9,ponorogo,5,rilis,31,seminar,5,sosialisasi,7,tkpsda,4,trenggalek,10,tulungagung,6,wilis,11,wisata,6,
ltr
item
PELESTARI KAWASAN WILIS: Tajuk Pelestari : Kelakar Milei, Paradigma Reforestasi dan Inkonsistensi Upaya Mitigasi
Tajuk Pelestari : Kelakar Milei, Paradigma Reforestasi dan Inkonsistensi Upaya Mitigasi
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKI1MP-j22MEVcE-BueWjraaT53OwZnJR0nNW0avc0C2wUKoxFIosOvaWPDBF5ocoEq-L3GDlB7c2OLR858U7oNb00FvaIKiSrR28s5SH56dBs8dn_158aJhHgpdOU8drljtm0vX27jkdc0D4LjJjcLlj15Q8hmTfzttSXO7Rq9fgDYuLE8c-yrpKt6tY/w633-h357/hutan-wilis.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKI1MP-j22MEVcE-BueWjraaT53OwZnJR0nNW0avc0C2wUKoxFIosOvaWPDBF5ocoEq-L3GDlB7c2OLR858U7oNb00FvaIKiSrR28s5SH56dBs8dn_158aJhHgpdOU8drljtm0vX27jkdc0D4LjJjcLlj15Q8hmTfzttSXO7Rq9fgDYuLE8c-yrpKt6tY/s72-w633-c-h357/hutan-wilis.jpg
PELESTARI KAWASAN WILIS
http://www.pelestariwilis.or.id/2024/11/tajuk-pelestari-kelakar-milei-paradigma.html
http://www.pelestariwilis.or.id/
http://www.pelestariwilis.or.id/
http://www.pelestariwilis.or.id/2024/11/tajuk-pelestari-kelakar-milei-paradigma.html
true
8152540849374797793
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy